Rabu, 13 Juni 2012

pengertian takdir dan sunatullah


Pengertian Takdir dan Sunatullah

Kata Takdir terambil dari kata Qaddara berasal dari akar kata “qadara” yang antara lain berarti; mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika anda berkata “Allah telah menakdirkan demikian”, maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.
Kata qadar melahirkan kata qaddara yang keduanya mempunyaimakna  di satu sisi adalah makna yang sama dan disisi lain makna yang berbeda, namun makna tersebut saling terkait dan melengkapi.
Kata qadar yang berbentuk isim mashdar menunjukkan sebuah makna konteks yang kandungan artinya adalah aturan-aturan atau hukum. Allah Swt, berfirman: قد جعل لكل شيئ قدر (Allah telah menjadikan kepada setiap sesuatu aturan).
Kata qadar dan takdir di atas telah dimaknakan qadar, ukuran, batas,. Apabila qadar yang telah ditetapkan berani melampaui batas, ukuran dan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah, maka akan mendapatkan tambahan dan sanksi dari Allah yang  juga merupakan  takdir Allah Swt.
Kata takdir yang akar katanya kaddara menunjukkan sebuah makna konteks yang kandungan maknanya menetapkan dan menentukan. Allah Swt, misalnya menyatakan dalam QS. Yunus 10 : 5 ;
Terjemahnya :
Dia yang menjadikan matahari bercahaya dan bulan bersinar lalu Dia menetapkannya manazil-manazil …..
Kata قدير  dalam al-Qur’an berulang sebanyak 45 kali. Hal ini menunjukkan sebuah arti yang sangat dalam, yakni Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Sementara kata قدر berulang sebanyak 11 kali dan kata مقدار berulang sebanyak 3 kali, yang kedua kata tersebut mengartikan ukuran. Jika kata di atas diurut maka yang didahulukan dari urutan tersebut adalah kata قدر، تقدير، قدير dan قدر/مقدار maksudnya adalah Allah kuasa menetapkan/menentukan memberi qadar tertentu bagi aturan dan ukuran, batas-batas kepada makhlukNya.


Pengertian Sunnatullah

Sunnatullah dapat berarti sebagai hukum-hukum Allah, Undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam Alqur’an, dan hukum kejadian alam yang berjalan secara tetap dan otomatis. Dalam pengertian inilah sehingga fenomena-fenomena alam yang terjadi pada dasarnya adalah sunnatullah, agar alam semesta ini tetap stabil. Gempa bumi , letusan gunung merapi dan lain-lain. Hanya saja mungkin pada saat itu Allah benar-benar turun tangan agar mausia tidak sombong dan lalai. Contoh pada kasus kejadian di Aceh, mungkin yang terjadi pada saat itu bukan hanya semata-mata fenomena alam biasa, akan tetapi mungkin Allah memberikan teguran secara langsung. Dalam kehidupan di dunia ini tidak bisa lepas dari aturan-aturan (ketentuan) tersebut. Bagaimanapun upaya dan jalan yang akan dilalui, tidak bertindak semena-mena dan sesuai keinginan kita, karena hal itu melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan. Namun terkadang dalam beberapa hal, Allah benar-benar mengambil alih dan menyentil kehidupan  kita dengan caranya yang tidak diketahui. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiaannya dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tampa takdir, termasuk menusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut hukum-hukum alam.
Dalam konteks inilah dapat dimaknai bahwa Sunnatullah pada satu sisi mengandung pengertian sama dengan takdir yaitu suatu ketentuan dan ketetapan Allah Swt. Namun Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan Sunnatullah dengan takdir. Karena Sunnatullah yang digunakan oleh Alqur’an adalah untuk hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Alqur’an „Sunnatullah“ terulang sebanyak 8 (delapan) kali, „sunnatina“ sekali, „Sunnatul Awwalin“, terualng tiga kali, kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Lihat Mislanya dalam Alqur’an Surat Al-Ahzab ayat 38 dan 62,
Terjemahannya :
Allah telah menetapkan yang demikian sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,
Terjemahnya :
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.
atau Surat Fathir ayat 43,
Terjemahnya :
Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.
dan ghafir ayat 40 dan 85.
Terjemahnya :
Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadany. Ia tidak mampu melampuinya kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun mempunyai ukuran yang tidak mampu melampaui. Disisi lain manusia berada dibawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang dilakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya, maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angina dapat menimbulkan kesejukan atau dingin, itu takdir atau sunnatullah, manusia boleh memilih api yang membakar atau angina yang sejuk. Disinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham ayau petunjuk Ilahi.[1]


Konsep Takdir

Islam mengenal takdir dengan sebutan qadha dan qadar. Sebagian ulama menafsirkan qadha sebagai hubungan sebab akibat dan qadar sebagai ketentuan Allah sejak zaman ajali. Jadi secara singkat qadha adalah pelaksanaan dalam tataran operasional yang dipilih oleh manusia untuk selanjutnya menemui qadarnya dan akhirnya menentukan nilai dari amal perbuatannya.
Takdir adalah suatu yang sangat ghoib, sehingga kita tak mampu mengetahui takdir kita sedikitpun. Yang dapat kita lakukan hanya berusaha, dan berusahapun telah Allah dijadikan sebagai kewajiban. ”Tugas kita hanyalah senantiasa berusaha, biar hasil Allah yang menentukan”, itulah kalimat yang sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita, yang menegaskan pentingnya mengusahakan qadha untuk selanjutnya menemui qadarnya. Dan ada 3 hal yang sering-sering disebut sebagai takdir, yaitu jodoh, rizky, dan kematian.
Taqdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani, yaitu :
a. Al-`Ilmu, bahwa seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya. Sebagaimana firman Allah :
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya , dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata "(QS. Al-an`am 59)
b. Al-Kitabah, Bahwa Allah mencatat semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-Nya :
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab . Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”.(QS. Al-Hajj : 70)
c. Al-Masyiah (kehendak), Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat / masyiah (kehendak /keinginan) Allah SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaannya yang tidak diinginkannya selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat Allah atau yang dilakukan oleh makhluq-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya :
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin: 82)
d. Al-Khalqu, Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya, dalam firman-Nya dijelaskan :
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya”. (QS. Az-Zumar : 2)[2]



Perbedaan Takdir
Takdir bisa dibedakan menjadi dua :
1. Takdir dalam ilmu Allah yang azali.Allah SWT telah mengetahui sesuatu yang akan terjadi di dunia dan di akhirat. Tiada satupun yang tersembunyi bagi Allah, sekalipun hal itu belum terjadi. Semuanya sudah di ketahui Allah AWT sejak zaman azali. Tidak lain dan tidak bukan karena Allah lah yang menentukan semua itu. Inilah yang dimaksud takdir dalam ilmu Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah : ….Dan dia maha mengetahui segala sesuatu. (Qs Al-Baqoroh : 29)
Para ahli tauhid, salaf maupun khalaf, dari kalangan Ahlusunannah Waljamaah bersepakat (ijma’) bahwa barang siapa mengingkari atau tidak mengikuti ilmu Allah berarti kafir. Takdir dalam ilmu Allah tersebut tidak akan berubah dan tidak bisa di rubah oleh siapapun, sehingga di sebut juga Qodho Mubran atau takdir yang pasti.
2. Takdir yang tertulis di Lauhul Mahfudz.
Seperti di terangkan oleh ibnu Abbas ra, Allah SWT menciptakan qalam (pena). Kemudian Allah berfirman padanya (pena), “Tulislah !” maka, pena itu menuliskan sesuatuyang akan terjadi sampai hari kiamat di lauhul mahfudz (papan tulis yang terpelihara). Takdir yang tertulis di lauhul mahfudz masih bisa berubah karena takdir yang tertulis disitu ada yang sudah menjadi keputusan final dan ada yang belum. Yang belum menjadi keputusan final dinamakan mu’allaq. Sehubungan hal itu Allah SWT berfirman : Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa pula Dia kehendaki), (Qs. Ar-Ra’ad : 39)
Adapun takdir yang tertulis di lauhul mahfudz hanya bisa berubah lantaran dua sebab, yaitu :
a) Doa Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya :Tidak ada yang bisa menolak takdir selain berdoa, dan tidak ada yang bisa memperpanjang umur kecuali berbuat kebaikan. (HR. Turmudzi).
Sehingga, dengan berdoa kepada Allah, insya Allah takdir bisa berubah. Misalnya, jika kita berbuat kebaikan maka kita akan diperpanjang. b) Berbuat kebaikan Salah satu bentuk berbuat baik ialah silaturahmi. Dengan itu pun bisa merubah takdir. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : Barang siapa yang menyayangi banyak rizki dan berumur panjang hendaknya memperbanyak hubungan silaturahmi. (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits tersebut tidak bertentangan dengan ayat yang tercantum di dalam surat An-Nahl : 61, yang mengatakan bahwa datangnya kematian seseorang tidak akan mundur dan maju barang sedikitpun. Sebab, ajal dalam ayat itu maksudnya ajal akan ditakdirkan dalam ilmu Allah yang tidak mungkin menerima perubahan. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits diatas adalah yang tertulis si lauhul mahfudz, yang di ketahui malaikat dan masih mungkin berubah, demikian menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani.

 Konsep Takdir Dalam Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia
Konsep takdir dalam hal ini dapat di lakukan dengan cara ikhtiar (Indeterminisme) Di dunia, manusia diwajibkan berikhtiar dan berusaha untuk mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Meskipun kita telah beriman dan mempercayai benar-benar bahwa semua ketentuan datangnya dari Allah SWT, agar lepas dari ketentuan jelek dan buruk, serta berjuang hanya mendapatkan ketentuan baik saja.
Dengan demikian, setiap mukmin wajib bekerja keras agar tidak jatuh miskin, giat belajar, agar berilmu dan bermanfaat bagi masyarakat, memelihara kesehatan dan sebagainya. Sebab kita tidak mengetahui takdir yang mana yang kita perlukan, sehingga setiap mukmin tidak di benarkan berdiam diri dan pasrah kepada takdir Allah, tetapi harus berjuang mencari kemaslahatan dunia dan akhirat, serta berusaha menghindari perbuatanmungkar dan maksiat. “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka itu mengubah keadaan dirinya” Jadi, sudah jelas bahwa kita menginginkan sesuatu hendaknya kita berikhtiar, karena melihat firman diatas bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan dirinya dengan cara berikhtiar kepada Allah SWT, dan mengoptimalkan usaha kita dan keridhaan ilahi.[3]

Pengaruh Takdir Dalam Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia
Pengaruhnya antara lain sebagai berikut :
1) Takdir merupakan salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi bersemangat dalam beramal dan berusaha untuk mencapai keridhaan Allah dalam hidup ini.
2) Manusia akan mengetahui kemampuan dirinya sehingga ia tidak sombong, bangga atau tinggi hati.
3) Bisa menumbuhkan keberanian hati untuk menghadapi berbagai tantangan serta menguatkan keinginan di dalamnya.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad,Teungku, Ash-Shiddieqy.2009.Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid.Semarang:Pustaka Rizki Putra.

Muhdahlan.2010.Takdir dan sunnatullah”. Di akses dalam
April 2012.

M Quraish Shihab.2010.”Konsep takdir”. Di akses dalam
http://konseptakdir.blogspot.com/ .,Kamis 19 April 2012.

M Quraish Shiha.2010.”Konsep Takdir Dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia”. Di
akses dalam http://konseptakdir.blogspot.com/ ,Kamis 19 April 2012.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar